Short Review tentang dampak COVID 19 terhadap Perekonomian
Oleh : Muhammad Adam, S.E.I
-Pembelajar Ekonomi Islam-
Kondisi
COVID-19 ini tidak hanya berimplikasi kepada sistem kesehatan dunia dan
memberikan guncangan kesehatan manusia saja, Ekonomi sebagai bagian dari
kehidupan manusia dan aktivitas sehari-harinya dalam memenuhi kebutuhan pun
juga mengalami guncangan (Shock) baik dari sisi Pemintaan (Demand)
maupun Penawaran (Supply). Tulisan singkat ini mencoba untuk menganalisa
dampak COVID-19 terhadap perekonomian baik dari sisi Permintaan secara
keseluruhan (Aggregat Demand) maupun dari sisi Penawaran (Aggregat
Supply).
Dari
aspek permintaan, ada empat Faktor utama yang bisa dijadikan dasar analisis
ekonomi secara aggregate, yaitu Konsumsi rumah tangga, Investasi,
Pengeluaran Pemerintah serta Ekspor dan Impor. tentu jika secara faktual empat
faktor utama dalam permintaan dalam kondisi COVID-19 ini terdampak baik secara
langsung maupun tidak langsung, maka Permintaan secara agregat akan mengalami
goncangan dan perubahan. Pertama, dari aspek konsumsi rumah tangga COVID-19
sangat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi. Jika dilihat secara agregat,
selama masa COVID-19 terdapat perubahan perilaku konsumsi masyarakat, hal ini
dikarenakan COVID-19 menuntut manusia merubah aktivitasnya sehari-hari,
pembatasan ruang gerak and aktivitas sosial akibat masa pandemic ini merubah
drastis aktivitas konsumsi. Konsumsi di sektor-sektor yang melibatkan aktivitas
sosial menutun sangat drastis, sebut saja transportasi dan wisata, konsumsi di
ruang public semisal restoran, café dan tempat makan lainnya, namun pada
sektor-sektor kebutuhan konsumsi pokok dan tidak terikat aktivitas sosial
semisal bahan pangan pokok cenderung stabil bahkan meningkat, yang paling
meningkat pada masa COVID-19 tentu konsumsi pada sektor obat-obatan maupun alat
kesehatan selain itu konsumsi telekomunikasi juga mengalami peningkatan seiring
dengan aktivitas dan kerja secara online maupun remote dari
rumah.
Pada
Investasi, COVID-19 juga merubah pola konsumsi, banyak orang yang lebih
cenderung melikuidasi dana-dana yang disimpan untuk memenuhi kebutuhan jangka
pendek, sentimen investasi di pasar modal pun di mana-mana mengalami penurunan
didorong aspek ketidakpastian yang dimunculkan oleh pandemic. Di Sektor
Pengeluaran Pemerintah, kondisi ini mendorong konsumsi pemerintah dalam rangka fokus
penanganan ke arah penyelesaian COVID-19. Ekspor dan impot juga akan terdampak
oleh COVID-19, hal ini dikarenakan banyaknya Negara yang membatasi keluar
masuknya barang dan jasa, kebijakan Lockdown di beberapa Negara tentu
berpengaruh terhadap aktivitas ini, namun di Indonesia sendiri dikarenakan
COVID-19 baru dimulai pada awal Maret 2020, data BPS menunjukkan bahwa di
sektor impor secara bulanan dari Februari justru mengalami peningkatan sebesar
0,23%, walaupun secara YoY turun sebesar 0,20% dari Maret tahun sebelumnya.
Prediksi penulis, dampak COVID-19 terhadap ekspor ini akan lebih terlihat nyata
pada bulan-bulan selanjutnya terutama akan terlihat pada kuartal kedua di tahun
2020. Pada Masa Pendmi COVID ini secara umum permintaan agregat mengalami
penurunan akibat dampak COVID-19, jika berkaca pada Negara-Negara yang telah
lebih dulu terkena sangat jelas sekali dampak COVID-19 terhadap aggregate demand
memiliki ekses negatif yang tinggi.
Sementara itu, jika dilihat dari sisi Penawaran
Agregat, COVID-19 juga sangat berdampak kepada aktivitas produksi perusahaan.
Dalam kondisi wabah COVID-19 sekarang penawaran barang berbeda antara satu
sektor dengan sektor yang lain, dampak-dampak tersebut antara lain. Pada
sektor-sektor produksi dan ekonomi semisal Manufaktur, Otomotif, Pariwisata
terjadi penurunan. Hal ini karena memang pertama faktor-faktor produksi semisal
Bahan Baku menjadi lebih sulit di dapat, di Indonesia sendiri sebagian besar
industri-industri manufaktur misalnya, banyak yang menggunakan bahan baku
impor, dengan demikian pasukan bahan baku menjadi lebih langka dan secara
langsung mengakibatkan produksi menurun. Selain itu, Faktor produksi semisal
Tenaga kerja (Labor) juga terpengaruh, banyak perusahaan menerapkan aktifitas work
from home (WFH) sehingga banyak perusahaan yang mengurangi aktivitas
produksi karena aktivitas tenaga kerja yang terbatas. Di Sektor Pariwisata juga
penawaran terdampak sangat besar, di mana mobilitas semakin kecil dan
permintaan menurun drastis, implikasinya harga-harga di sektor ini turun agar
menarik permintaan. Dengan demikian, di sektor-sektor yang disebutkan di atas
menjadi menurun dikarenakan pengaruh Pandemic ini dikarenakan
permintaan yang menurun.
Pada sektor makanan, pertanian, peternakan dan
bahan pokok persediaan dan produksi masih tinggi. Beberapa sektor seperti
perikanan yang bergantung kepada alam malah cenderung kepada overproduction yang
mengakibatkan persediaan banyak dan harga dari nelayan cenderung turun. Penulis
pribadi merasakan bahan makanan di pasar tidak terlalu banyak berubah dari sisi
penawaran, kecuali makanan-makanan yang ada kaitannya dengan COVID-19. Jahe
misalnya, harga yang ditawarkan cenderung meningkat karena ada ‘pemahaman’
bahwa jahe mampu menangkal COVID-19. Namun pada sumber hewani semisal Ayam,
harganya malah cenderung turun dengan pasokan yang cukup stabil di pasar
tradisional yang masih buka. Jadi pada masa pandemic seperti ini sektor-sektor
konsumsi untuk kebutuhan pangan harian masih cenderung stabil dan menguat.
Namun, yang menarik adalah penawaran barang-barang yang kaitannya dengan
kesehatan, secara kasat mata terlihat seperti fenomena Underproduction di
mana kelangkaan barang-barang terjadi.
Secara umum Wrenn-Lewis (2020) misalnya, menerangkan
bahwa efek langsung (direct effect) dari sisi produksi disaat terjadi
pandemic COVID-19 pada tingkat kuartalan akan menunjukkan dampak yang lebih
besar dan mengakibatkan GDP akan turun pada masa kuartal tersebut, pada skala
tahunan maka GDP akan lebih kecil terdampaknya, sekitar 1% sampai 2% dari total
GDP, bahkan menurutnya walaupun seluruh sekolah tutup dan para pegawai
menghindari kerja selama 3 bulan penurunan GDP (GDP Loss) maksimal hanya
akan menyentuh angka 5%, pernyataan ini memang rasanya terlihat kontradiksi dengan
kondisi lapangan secara langsung bagi yang terdampak dan merasakan implikasinya
langsung. Penyebab produsi terdampak adalah karena faktor produksi tenaga kerja
yang terkena impact secara langsung dari pendemic. Pembatasan ruang gerak dan mobilitas para
pekerja secara otomatis akan mengakibatkan menurunnya aktivitas produksi dan
tentu menurunkan jumlah (output) produksi perusahaan. Indonesia sendiri dengan COVID-19 dimulai
sejak awal maret 2020 memang belum mencapai satu kuartal dan belum bisa dilihat
secara langsung impactnya terhadap perekonomian pada kuartal ini, namun jika
dirasakan secara langsung, sebenarnya kita sudah bisa merasakan bagaimana
dampak COVID-19 ini sari sisi permintaan, terutama pada sektor-sektor yang
melibatkan pekerja dan sektor-sektor yang menawarkan produk pada ruang publik
dan produk yang terkait mobilitas (wisata, transportasi, pelayanan-pelayanan
publik, dsb).
Oleh
karea itu, Dari sisi teori penawaran aggregat dalam pandangan penulis kondisi
COVID ini akan mempengaruhi Kurva Jangka Pendek dari aggregat Supply (SRAS)
namun secara umum tidak mempengaruhi secara jangka panjang, hal ini karena yang
terdampak paling tersampak adalah perubahan tenaga kerja dan modal serta dalam
kondisi seperti faktor yang mengalami banyak perubahan adalah faktor harga.
Kesimpulannya
Pada kondisi COVID-19 ini perekonomian secara aggregate baik dari sisi
Permintaan maupun Penawaran akan terdampak negatif. Secara siklus bisnis
Negara-negara besar terdampak COVID-19 semisal China, Italia dan Amerika serikat
pun telah mengarah kepada Resesi, Namun harapannya kondisi ini tidak bertahan
lama dan tidak terlalu dalam, dan setiap elemen masyarakat terutama pemerintah
juga memiliki kesiapan untuk menyambut titik balik kondisi ini ke arah recovery
dan perbaikan di masa yang akan datang.
#COVID19 #EkonomiIslam #Supply #Demand
Surabaya, 31 May 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar